Senin, 08 April 2013

seputar kepiting bakau, kepiting bakau, jual kepiting bakau, exportir kepiting bakau jakarta

Kepiting bakau adalah mahluk hidup dengan kebiasaan makan jenis omnivora, artinya tipikal pemakan segala. Di samping mengonsumsi daging hewan laut, kepiting juga dapat memakan tetumbuhan, seperti ubi, jagung, dan tepung (bisa juga diformulasi dalam bentuk pakan). Dalam kehidupan liarnya, kepiting lebih sering menangkap ikan, artinya cendrung ke arah carnifor. Ikan-ikan itu ditangkapnya menggunakan capit, kemudian dengan pelan dimasukkan ke dalam mulutnya yang luas. Kepiting menyukai pula bangkai segar yang berbau amis. Perkembangan berikutnya, telah ada inisiatif untuk membuat formula pakan. Pakan kepiting ini telah diawali oleh Sheen dan Wo pada 1999, Millima dan Quinito pada 2000, tapi masih dalam tahap penelitian. pada 2008, 2009 dan 2010, penelitian pakan juga dikembangkan oleh para peneliti dari Jurusan Perikanan Universitas Hasanuddin, yang dipelopori oleh Prof Yushinta Fujaya, Dr. Siti Aslamyah, dan dengan anggota-anggota, antara lain, Nur alam, Akbar Marzuki, Nur Insana, Heri susanti, Sri Wahyuningsi, Damayanti, Yasir, Lisa, dan saya sendiri (Idham Malik).
Namun, kendala yang sering dialami oleh para pembudidaya kepiting adalah mengenai selera makan kepiting yang menurun, sehingga menyebabkan pertumbuhan lambat. Dan jika kepiting tidak makan dalam beberapa hari, dapat menyebabkan kematian. Kepiting dapat tumbuh dengan baik jika lingkungan fisik dan gizi terjamin. Kemampuan makan dan penyerapan gizi oleh tubuh pun sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti suhu, salinitas, pH, kandungan oksigen. Tapi, sebelum kita membahas tentang pengaruh eksternal, kita terlebih dahulu masuk ke gizi atau pakan itu sendiri, apakah sudah tepat takarannya, dan sesuai dengan kebutuhan kepiting bakau itu sendiri.
Hal-hal yang tak boleh terluputkan dalam pemilihan pakan, antara lain, kuantitas, kualitas, bentuk dan ukuran, daya tarik, ketahanan dalam air. Tentang kuantitas, kepiting membutuhkan pakan sesuai dengan kemampuan penampungan dan daya cerna alat pencernaan kepiting. Dari hasil penelitian, didapatkan bobot pakan perhari sebesar 5 % dari bobot tubuh, dimana laju pengosongan lambung selama 12 jam. Sehingga prekuensi pemberian pakan sebanyak dua kali sehari. Dapat diberi pada pagi dan sore hari. Pemberian dua kali pakan sehari sesuai kebutuhan tubuh kepiting, berguna dalam budidaya penggemukan, pembesaran atau budidaya kepiting moulting.
Kedua adalah kualitas pakan. Pakan yang baik adalah pakan yang mengandung beberapa kandungan penting, seperti protein, karbohidrat, lemak, vitamin dan mineral. Kandungan protein dalam tubuh kepiting sekitar 30-40 persen, sehingga membutuhkan pakan yang mengandung protein tinggi, baik dari hewani maupun dari nabati. Kalau menggunakan pakan buatan setidaknya mengandung protein sekitar 50 persen. Diketahui bahwa pencampuran antara protein hewani dan nabati berpengaruh baik terhadap pertumbuhan kepiting bakau. Protein adalah kandungan gizi utama, jika kebutuhan protein tidak tercukupi, kepiting akan mengalami kehilangan bobot tubuh karena kepiting akan menarik kembali protein dari beberapa jaringan untuk mempertahankan fungsi jaringan yang lebih penting.
Di samping itu, tambahan karbohidrat atau jenis pakan yang mengandung karbohidrat, sangat bermanfaat buat kepiting. Karbohidrat sebagai sumber energi yang digunakan untuk aktifitas gerak dan metabolisme tubuh kepiting. Energi dalam karbohidrat ini bersifat nonprotein, sehingga dapat menghemat penggunaan protein dari katabolisme untuk penyediaan energi, sehingga protein murni digunakan untuk proses pertumbuhan saja. Proses ini disebut Protein Sparing Effect. Selain itu, Karbohidrat ini juga sebagai bahan pembentukan chitin, yang sangat berguna saat pembentukan cangkang baru.
Sementara kandungan gizi lain yang juga penting adalah lemak, membantu pemeliharaan struktur dan integritas membran sel dalam bentuk fosfolipid dan sebagai sumber energi. Vitamin berperan memperkuat daya tahan tubuh, dan mineral dalam hal pembentukan eksoskleton, mempertahankan tingkat koloidal cairan tubuh, mengatur viskositas, difusi, tekanan osmosis, skturtur jaringan, pengiriman inpuls syaraf, kontraksi otot, mengatur keseimbangan asam basa dan sebagai komponen atau aktivator enzim.
Ketiga, bentuk dan ukuran pakan. Bentuk pakan sebaiknya adalah bulat lonjong, dengan diameter seukuran jari kelingking manusia normal. Panjang 2 – 3 centimeter. Hal ini sesuai dengan bukaan mulut kepiting bakau, juga sesuai dengan cengkeraman capit kepiting. Untuk ikan rucah, sebaiknya dipotong-potong sesuai ukuran bukaan mulut tersebut. Sebenarnya, untuk budidaya jenis tertentu, seperti budidaya sistem indoor, yang melakukan penampungan hanya dalam beberapa hari, tidak mesti dilakukan pelepasan ikatan capit, karena kepiting dengan instingnya sendiri dapat mengambil pakan yang diberikan menggunakan kaki-kaki jalannya.
Keempat daya tarik, semacam aroma pada pakan tersebut. Kepiting sangat menyukai aroma tertentu, yang mungkin semacam bau kepiting juga. Telah diketahui bahwa kepiting merupakan hewan kannibal, hewan ini sering menyerang dan memakan temannya sendiri yang dalam kondisi moulting atau ganti kulit. Bau amis yang berasal dari ikan segar yang belum lama mati juga disukai oleh kepiting. Untuk mengetahui daya tarik ini dapat dilakukan dengan mengamati respon kepiting saat diberi pakan, apakah ia langsung menyabet ataukah tidak.
Kelima, daya tahan dalam air. pakan sebaiknya adalah pakan yang tenggelam, sehingga dapat memudahkan kepiting dalam mencapit ataukah memasukkan ke dalam bukaan mulutnya. Kita pun harus memperhitungkan daya tahan pakan dalam air, misalnya apakah tahan dalam berapa jam. Sebaiknya, pakan yang baik dapat tahan selama 12 jam, sehingga dalam rentang waktu itu dapat dimanfaatkan oleh kepiting untuk menghabiskan pakan hingga tidak tersisa. Ketahanan ini tergantung dari daya rekat atau bahan yang digunakan sebagai perekat partikel-partikel pakan.
Kelima faktor itu berkontribusi dalam meningkatkan pertumbuhan kepiting. Dimana 60 persen energi pakan yang dikonsumsi digunakan untuk kontraksi, berupa gerak dan aktivitas metabolisme tubuh, selebihnya digunakan untuk pertumbuhan. Hasil penelitian Catacutan (2002), memperlihatkan pertumbuhan yang baik dihasilkan pada kepiting yang diberi pakan dengan kandungan energi 14,7 – 5,7 mg/kg.
Faktor Eksternal yang mempengaruhi Pertumbuhan Kepiting Bakau
Salinitas
Salinitas, kadar garam ini terkait dengan mekanisme osmosis kepiting bakau, yang merupakan hewan estuaria, yang hidup dengan kadar garam yang sering berubah-ubah. Kepiting merupakan hewan osmoregulator, yaitu hewan yang mempunyai mekanisme faali untuk menjaga kestrabilan lingkungan internalnya, dengan cara mengatur osmoralitas (kandungan garam dalam air) pada cairan internalnya. Dalam osmoregulasi ini, kepiting memerlukan transportasi aktif, terutama pompa Na – K – ATPase, untuk mempertahankan gradien osmotik dalam tubuh bergerak normal.
Nah, tekanan osmotik dalam sel akan mempengaruhi komposisi protein pada kondisi stress osmotik, juga terhadap penggunaan energi akibat aktivitas transportasi aktif, sehingga terjadi gradasi bahan-bahan yang kaya energi seperti lemak, dan karbohidrat. Protein juga akan mengalami gradasi, karena turut berperan dalam sistem pompa ion pada membran sel (protein membran sel/carrier) dan biokatalisator (enzim Na – K ATP ase).
Jika salinitas terlalu tinggi, kepiting mengalami kondisi hipoosmotik, air dari dalam tubuh cendrung bergerak keluar secara osmosis. Sehingga, kepiting akan berusaha mempertahankan keseimbangan cairan tubuh dengan mencegah agar cairan urin tidak lebih pekat dari hemolimfenya. Dengan begitu, kepiting harus mengekstrak H2O dengan cara minum air serta memasukkan air lewat insang dan kulit (saat moulting). Tentu, aktivitas ini mengeluarkan energi yang cukup besar.!
Dalam kondisi salinitas rendah, kepiting mengalami kondisi hiperosmotik. Air dalam media cendrung menembus masuk ke dalam tubuh, lewat lapisan kulit tipis kepiting. Kepiting mengantisipasinya dengan mengeluarkan air lewat kelenjar eksresi (kelenjar antena), juga memompa keluar air melalui urin. Pembelanjaan energi pun dibutuhkan untuk pengambilan ion-ion pada salinitas air rendah.
Dengan kata lain, kepiting yang merupakan organisme laut tipe osmoregulator-eurihaline ini memiliki pengaruh langsung terhadap salinitas media, tepatnya pada kemampuan pencernaan serta absorbsi sari pakan. Pengaruh salinitas yang tidak kalah penting yaitu dapat meningkatkan laju konsumsi oksigen, serta perubahan pola respirasi. Sehingga, pertumbuhan akan efektif bila kepiting hidup pada media yang tidak jauh dari titik isoosmotik.
Suhu
Pengaruh utama suhu adalah meningkatkan laju pergesekan intermolekul dan laju reaksi-reaksi kimia (Reiber dan Birchad, 1993). Secara umum, suhu berpengaruh terhadap aktivitas gerak, pembelanjaan energi lantaran konsumsi oksigen yang meningkat, laju metabolisme, serta molting.
Pada suhu tinggi, biasanya kandungan oksigen rendah, sehingga dilakukan pemompaan air lebih besar melalui pergerakan overculum yang meningkat frekuensinya. Kandungan oksigen yang minim, kurang dari 3 ppm akan menyebabkan nafsu makan organisme menurun. Bila kandungan tetap sedikit dalam jangka waktu lama, dapat menyebabkan kematian pada kepiting, karena kepiting mengalami kekurangan energi untuk beraktivitas dan melakukan metabolisme basal. Oksigen yang rendah juga membuat kepiting stress, lemas, dan pada akhirnya daya tahan tubuh menurun, dan gampang terserang penyakit.
pH
Kadar keasaman dapat mempengaruhi proses dan kecepatan reaksi kimia di dalam air serta reaksi biokimia di dalam tubuh kepiting bakau. Jika kandungan pH dalam kondisi tinggi atau lebih rendah dpat mempengaruhi penggunaan dan produksi energi, serta penekanan metabolisme energi aerobik.
Jika pH rendah, mukus pada permukaan insang meningkat, sehingga akan mengganggu pertukaran gas pada saat respirasi dan pertukaran ion yang melalui insang. Dengan begitu akan mempengaruhi keseimbangan asam basa darah dan menurunkan konsentrasi NaCl dalam darah yang pada akhirnya akan mengacaukan metabolisme.
Kelanjutan dari kondisi pH rendah, adalah kerusakan insang yang menurunkan kinerja respirasi. Lalu mempengaruhi potensi toksin seperti logam-logam berat (Wang, et al, 2002). Buntutnya, organisme akan mengalami kelambatan pertumbuhan. Sementara jika pH tinggi, akan berpengaruh pada meningkatnya daya racun amoniak. Sebaiknya pH yang optimal sekitar 7,5 sampai 8,5.
Diolah dari beragam sumber
Sebagian dari Tinjauan Pustaka Milik Institut Pertanian Bogor (IPB)
senin, 8 April 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar